KRISTUS MEMBERI NILAI BAGI PERNIKAHAN

Posted by Admin 2025-06-09

blog-post-image

Sharing Supplemen Juni #2 2025

Kristus Memberi Nilai Bagi Pernikahan

Di tengah dunia yang makin cepat berubah, banyak pasangan yang baru terjun dalam pernikahan masih merasa gamang dalam menapaki kehidupan pernikahan. Tantangan finansial, pengaruh media sosial, dan budaya yang seakan menormalkan perceraian, semua bercampur aduk sehingga menimbulkan keresahan. Belum lagi di tengah perubahan budaya dan gaya hidup modern saat ini, pernikahan kristen menghadapi tantangan untuk tetap menjaga nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan. Kuatnya arus perubahan budaya dan gaya hidup ini tanpa terasa mulai mengguncang nilai-nilai dan tujuan pernikahan yang ditetapkan Allah pada mulanya. Di mana kita bisa menemukan makna sejati dari pernikahan? Apakah masih ada fondasi yang kokoh dan tak tergoyahkan? Jawaban atas keresahan itu ditemukan dalam Alkitab.

Ketika ikatan pernikahan sering dianggap sebagai beban atau bahkan pilihan usang, iman Kristen justru memberikan jawaban yang penuh harapan: Kristus memberi nilai sejati dan kekal bagi pernikahan.

Pernikahan Adalah Ide Allah.

Pernikahan adalah lembaga pertama dalam dunia ini. Allah telah menciptakan pernikahan/keluarga sebelum ada institusi lain seperti satu bangsa, kerajaan ataupun gereja. Pernikahan adalah rencana dan desain Allah sendiri. Pernikahan adalah bagian dari ciptaan yang "sungguh amat baik" (Kej. 1:31). Dalam pernikahan, Allah merancang persatuan yang mencerminkan kasih, keintiman, kemitraan, dan tujuan bersama dalam membangun kehidupan dan keturunan.

Namun sayangnya, dosa masuk ke dalam dunia dan merusak segala sesuatu, termasuk pernikahan. Setelah manusia jatuh dalam dosa (Kej. 3), relasi yang awalnya harmonis berubah menjadi penuh konflik: saling menyalahkan, dominasi, dan keinginan untuk menguasai satu sama lain. Dosa menciptakan jarak bukan hanya antara manusia dan Allah, tetapi juga antara suami dan istri.

Kita melihat dampak kerusakan ini hingga hari ini: perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan relasi yang toxic yang tidak lagi mencerminkan kasih dan kehormatan. Bahkan banyak pasangan Kristen pun bergumul di tengah tekanan zaman modern, di mana nilai-nilai dunia kerap merongrong keintiman dan kekudusan pernikahan.

Kristus Datang untuk Menebus Ciptaan-Nya — termasuk Pernikahan.

Kabar baiknya adalah: penebusan Kristus di kayu salib tidak hanya menyelamatkan jiwa manusia secara pribadi, tetapi juga memperbarui seluruh ciptaan—termasuk lembaga pernikahan.

Karena penebusan Kristus di kau salib maka pernikahan Kristen adalah satu-satunya model pernikahan yang sifatnya proses spiritual. Pernikahan-pernikahan lainnya bersifat lebih merupakan sebuah proses sosial, banyak aturan yang lebih bersifat sosial daripada spiritual, sehingga ketika aspek-

aspek sosial tidak terpenuhi maka terciptalah satu alasan dan kesempatan untuk mengakhiri pernikahan itu. Namun sebuah pernikahan Kristen didominasi oleh isu-isu spiritual, seperti misalnya analogi suami dan isteri itu sama dengan Yesus dan gereja sang mempelai wanita-Nya. Hubungan Kristus dengan mempelai-Nya, gereja-Nya adalah hubungan Covenant –hubungan yang ditandai dengan cinta dan kesetiaan tanpa syarat. Cinta-Nya yang besar telah terbukti ketika Dia mati di atas kayu salib untuk mempelai perempuan-Nya (Efesus 5:25b-27). Karena itu pernikahan bersifat long life covenant. Dalam pernikahan tidak ada perceraian. Setelah mengikatkan diri dalam marital covenant hanya kematian yang memisahkan suami-istri.

Suami: Mengasihi Seperti Kristus.

Dalam Efesus 5:25, Rasul Paulus menyatakan: "Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus

telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya."

Ini bukan sekadar kata-kata motivator atau nasihat relasional tetapi ini adalah Injil yang hidup di dalam pernikahan. Penebusan Kristus memberi nilai dan tujuan baru bagi pernikahan. Kasih Kristus di kayu salib menjadi teladan agung bagi kasih suami kepada istrinya. Kristus mengasihi jemaat dengan kasih yang rela berkorban, menyucikan, dan menyelamatkan. Kasih semacam inilah yang menjadi dasar kasih seorang suami.

Kristus tidak mengasihi jemaat karena layak, tetapi karena kasih-Nya yang tanpa syarat. Ia menyerahkan diri-Nya di kayu salib bagi jemaat yang penuh cacat dan noda, untuk menyucikannya dan mempersembahkannya sebagai mempelai yang mulia.

Demikian pula, seorang suami Kristen dipanggil untuk mengasihi istrinya bukan karena kelebihan atau penampilannya, tetapi karena ia telah menerima kasih Kristus lebih dahulu. Kasih ini aktif, penuh inisiatif, dan tidak bersyarat. Suami menjadi pelayan, bukan penguasa; pemimpin, bukan diktator; pembimbing rohani, bukan pemaksaan kehendak.

Istri: Menunduk Seperti Jemaat kepada Kristus.

Paulus juga menulis dalam Efesus 5:22: "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada

Tuhan."

Ketundukan ini bukan bentuk penindasan, tetapi gambaran keindahan Injil. Seperti jemaat tunduk kepada Kristus yang mengasihi dan menebusnya, demikian pula istri tunduk kepada suami yang memimpin dalam kasih dan kebenaran. Penundukan ini dilakukan dalam kerelaan dan kepercayaan, bukan karena tekanan atau rasa takut.

Ini bukan relasi timpang, melainkan mutual submission (Ef. 5:21) dalam peran dan tanggung jawab yang saling melengkapi.

Anak-Anak: Menghormati Seperti Jemaat Menghormati Kristus.

Kasih dan penebusan Kristus juga membentuk relasi antara anak dan orangtua. Efesus 6:1 mengatakan: "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian."

Dalam keluarga Kristen, anak-anak diajar untuk taat dan menghormati, bukan karena aturan semata, tetapi karena mereka belajar mengenal Kristus. Mereka belajar bahwa menghormati orangtua adalah bentuk nyata menghormati Tuhan yang memberi kehidupan dan keluarga.

Dengan kata lain, seluruh relasi keluarga—suami, istri, anak-anak—dipulihkan dan diarahkan kembali kepada model Injil yang sejati.

Pernikahan: Kesaksian Hidup tentang Injil

Efesus 5:32 memberikan pernyataan yang mengejutkan: "Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat."

Artinya, pernikahan bukan semata-mata soal dua orang yang jatuh cinta. Pernikahan adalah panggung kecil tempat Injil dipertontonkan kepada dunia. Ketika suami mengasihi istrinya seperti Kristus, ketika istri tunduk dalam kasih seperti jemaat, dan ketika anak-anak hidup dalam ketaatan, dunia akan melihat gambaran Injil secara nyata.

Dalam dunia yang terus kehilangan arah tentang relasi, keintiman, dan komitmen, keluarga Kristen bisa menjadi kesaksian yang bersinar, bukan karena kesempurnaan mereka, tetapi karena kasih Kristus yang mengubah dan menopang mereka.

Kembali ke Salib Kristus

Untuk setiap pasangan Kristen, tantangan kehidupan pernikahan memang nyata. Tapi Injil memberi harapan. Kristus tidak hanya menebus individu, tetapi juga menebus dan memulihkan pernikahan. Ketika pernikahan kita berpusat pada salib, kasih akan menemukan bentuk sejatinya: pengorbanan, kesetiaan, dan kerendahan hati.

Mari membangun pernikahan kita bukan di atas perasaan, ekspektasi dunia, atau standar budaya, tetapi di atas kasih Kristus yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita. Di sanalah kita menemukan nilai, makna, dan kekuatan yang sejati—karena Kristuslah yang memberi nilai bagi pernikahan. (TB)

Pertanyaan Diskusi:

Bagaimana dengan kehidupan pernikahan/keluarga kita saat ini? Sudahkah berjalan dengan nilai-nilai yang kita pelajari diatas?